Jumat, 21 November 2014

Sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan (cerpen)

Hari itu terasa berbeda, pertemuan kita yang pertama setelah delapan tahun tak berjumpa. Engkau yang telah memburamkan masa lalu, dan aku yang tertatih-tatih meraba masa depan. Hari itu di tempat yang sama kita pertama kali bertegur sapa. Engkau sedikit takut memandangkan muka, mungkin takut aku telah menjadi manusia berbeda. Aku sendiri sedikit ragu, apakah engkau benar-benar mencoba mengikhlaskan masa lalu dengan menghapusnya. Delapan tahun lalu, kita bukan siapa-siapa. Hingga kinipun masih sama.

Tahukah engkau aku masih mengingat setiap detailnya. Langkahmu, cara bicaramu, bahkan rona senyummu masih terlihat sama. Aku tahu sedikit banyak kita telah berbeda, lihatlah dirimu sekarang. Engkau telah berubah menjadi wanita lembut yang penuh pesona. Berkali kali kau mengangkat telepon genggammu. Berkali-kali pula engkau meminta maaf padaku atas telepon-telepon itu. Aku paham, sedikitpun aku tidak merasa terganggu. Jauh-jauh hari sudah kupersiapkan diriku untuk pertemuan kecil ini, kumatikan teleponku. Atau mungkin hanya aku yang merasa bahwa tempat ini yang paling memberikanku kenyamanan. Aku tahu engkaupun sama, hanya saja kamu terlalu baik untuk mengabaikan panggilan-panggilan itu.

Betapa mulutku terasa kelu, terkunci rapat untuk mengutarakan beberapa hal. Sesungguhnya aku ingin bercerita, tentang diriku yang menyedihkan. Aku yang sekarang adalah orang yang mencoba mencoba mimpi-mimpi orang lain. Aku yang sekarang belum mempunyai kekuatan untuk mengejar mimpi-mimpi pribadiku. Aku ingin bercerita bahwa aku jatuh berkali-kali, aku ingin berbagi. Kita istirahat sembari terduduk di koperasi sekolah kita yang baru. Kulihat caramu berinteraksi, kulihat caramu mengartikulasi keadaan. Hingga akupun menjadi takut, takut mencintai adalah hal yang paling menyedihkan. Tahukah kamu dua hal yang tidak bisa dihindari manusia? kematian dan jatuh cinta. Kemungkinan besar aku sedang mengalami yang kedua. Tolong jangan disalah artikan, aku tidak takut bertepuk sebelah tangan atau kau menolakku terang-terangan. Yang lebih aku takutkan adalah realita kedepan, fakta yang hanya bisa disembuhkan waktu. Kenyataan.

Beberapa bulan berlalu, tak lagi kulihat namamu di jajaran telepon genggamku. Aku tak tahu mengapa, entah engkau sedang sibuk-sibuknya. Atau mungkin memang engkau yang menghindariku. Sekali lagi aku sadar, namun masih belum mengerti. Mungkin kita adalah sisa-sisa mozaik waktu yang menunggu untuk diuraikan. Mungkin juga kita adalah setitik hujan yang bersatu ketika air tergenang dilautan. Ataukah mungkin hanya aku? kemungkinan seperti itu. Aku adalah sisa-sisa keikhlasan yang tak diikhlaskan.

Rabu, 06 Agustus 2014

Antara titik dan garis

Akankah lingkaran itu menemukan sudutnya?
Berusaha memutar mencari celah, mencari garis pemisah

Andaikan lengkungmu sedikit membelok,
Apakah engkau akan tetap sama pada tiap koordinatnya?

Wahai lingkaran yang konsisten,
membeloklah sejenak agar bisa kurubah arah lajumu
mengingatkan kembali bahwa kau hanyalah sebuah garis

Garis yang berubah melingkar, bukan karena ingin

Aku adalah angin, dan kau dibelokkan pena

Aku adalah adalah bagianmu dari dimensi lain
Ruang waktu kehidupan yang membelah-belah jiwamu

Seandainya bisa aku ingin merupa menjadi air
menetesimu perlahan, memudarkan tinta di ragamu

Menggandengmu perlahan, hingga kembali menjadi garis
kemudian menuju titik, sampai akhirnya terlupakan

Senin, 17 Februari 2014

Pria yang terus berlari

Aku tidak tahu, mengapa engkau begitu suka berlari. Dari sekian banyak olah raga elite yang ada, engkau justru memilih lari. Pernah suatu ketika aku melihatmu berlari sepulang kerja mengelilingi kantor dengan masih mengenakan kemeja abu-abu favoritmu. Kau tidak pernah mendengar teriakan-terianku yang selalu mengkhawatirkanmu. Meski kadang aku merasa lega, setidaknya dengan berlari otot-ototmu menjadi lebih bugar, lebih sehat. Aku yang selalu mencintaimu, menatapmu dari belakang, menyukai segala kekakuanmu yang selalu terlihat lucu. Aku yang sedikit cemburu mendengar segala curhat-curhat cerita cintamu. Hingga perlahan aku menjauh, berusaha membuang segala kekhawatiran tentangmu. Pada waktu itu, aku sering mendengar cerita cinta kalian. Betapa gilanya diriku, semua jejaring sosial menjadi menjadi kambing hitam atas kesedihan, kebimbangan, kesakitan yang aku alami.
Perlahan kamu menyadari aku mulai menjauh. Kau kirimkan berbagai pesan singkat dengan pertanyaan yang sama, 'ada apa denganmu?apakah kamu baik-baik saja?'. Ingin rasanya aku mengatakan aku tidak baik-baik saja, aku ingin kamu ada disini. Namun kuurungkan niatku, lebih baik aku pergi diam-diam dengan cara yang baik daripada harus berkata yang tidak perlu kepadamu. Dikantor, aku memilih berangkat lebih pagi darimu. Sengaja aku memilih menaiki tangga dibanding lift. semua kulakukan agar aku merasa lebih baik.
Hari ini aku pulang cukup malam, bosku memberi tugas yang kelewat tidak manusiawi dibanding gajiku yang hanya dua kali gaji satpam tempatku bekerja. Pada hari itulah aku melihatmu berlari. Hampir setahun semenjak terakhir kali kita berdua berbicara. Sebenarnya aku telah mendengar engkau berpisah dari kekasihmu berbulan-bulan yang lalu, namun ketakutan telah membungkus semua perasaanku kepadamu. Kulihat engkau sedikit lebih kurus dengan kumis-kumis tipis tumbuh di atas bibirmu. Pada waktu itu aku sadar, engkau masih menjadi bagian dari sepotong pengharapanku yang telah berusaha aku iris tipis-tipis sedemikian rupa. Aku yang malam itu sudah cukup lelah menghindarimu, hanya berusaha tidak terlihat olehmu semampuku saja. Dan tiba-tiba engkau berhenti berlari sembari diam terpaku sejenak menyadari keberadaanku yang sebenarnya sudah berusaha kusembunyikan 'semampuku'. Engkau tersenyum sembari melambaikan tanganmu. Aku membalas lambaian tangamu canggung. Perlahan, engkau melangkah mendekat kearahku. Perlahan pula duniaku kembali sesak, wangi cologne yang aku hapal betul semilir wanginya, senyum tulusmu yang sulit kulupakan. Malam itu kita berdua kembali sepasang sahabat, hari itu kuhapuskan semua keraguanku. Tidak ada pertanyaan apa dan mengapa tentang semua yang telah terjadi. Sembari menyeka keringat engkau menjelaskan kepadaku mengapa engkau suka berlari.
'Adinda, gue suka lari karena lari itu murah. Dengan lari gue bisa terlepas dari semua beban pikiran yang gue rasain. Gue lari karena gue tau apa yang tersisa dari lari adalah keringat dan capek, hingga akhirnya gue bisa tidur nyenyak tanpa beban pikiran yang menggantung dari kepala gue. Setidak selama tiga puluh menit gue gak pikirin apa-apa. Tentang masa depan depan, keluarga, harga bensin yang terus naik, hutang-hutang gue, dan terutama tentang elu'
Dia berhenti sejenak sembari tersenyum, menunggu ekspresi dariku. Ketika aku hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba dia beridiri dan kembali berlari. Sejenak aku merenung, terdiam. Namun kemudian dia kembali dan meraih tanganku, mengajakku berlari. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Satu, dua, tiga, empat, lima putaran hingga akhirnya kami berhenti. Aku tersengal sengal. Seumur-umur baru sekali aku berlari selama dan sejauh ini. Kami berhenti, mata kami saling memandang. Dia terawa terpingkal pingkal melihat keringatku, aku ikut tertawa melihatnya. Entah apa yang kutertawakan. Malam itu aku sadar, sebuah perasaan yang tumbuh subur apabila langsung terpendam hasilnya akan sama, hanya akan menghasilkan bibit baru. Tak ada yang sesuatu yang terjadi apabila kita tidak berbuat sesuatu. Perasaan hanya akan menjadi sebuah siksaan apabila tidak terucap. Rahasia tidak akan pernah terendus apabila tidak pernah berusaha dipecahkan. Kadang kita terlalu takut berucap, kadang kita takut menghadapi reaksi yang kita tidak inginkan. Tapi malam ini aku percaya, cinta yang paling nyata adalah cinta yang diucapkan. Tidak lebih, dan tidak kurang.


Jumat, 31 Januari 2014

Saturday At The Canal

I was hoping to be happy by seventeen.
School was a sharp check mark in the roll book,
An obnoxious tuba playing at noon because our team
Was going to win at night. The teachers were
Too close to dying to understand. The hallways
Stank of poor grades and unwashed hair. Thus,
A friend and I sat watching the water on Saturday,
Neither of us talking much, just warming ourselves
By hurling large rocks at the dusty ground
And feeling awful because San Francisco was a postcard
On a bedroom wall. We wanted to go there, 
Hitchhike under the last migrating birds
And be with people who knew more than three chords
On a guitar. We didn't drink or smoke,
But our hair was shoulder length, wild when
The wind picked up and the shadows of
This loneliness gripped loose dirt. By bus or car,
By the sway of train over a long bridge,
We wanted to get out. The years froze
As we sat on the bank. Our eyes followed the water,
White-tipped but dark underneath, racing out of town.
Written by: Gary Soto

Senin, 06 Januari 2014

Blurry Eyes

Masihkah kamu mengingatnya?butiran pasir putih itu, tepian pantai yang kita telusuri bersama. Masih bisa kuingat bagaimana kamu tertatih-tatih menaiki sebuah sepeda dengan keranjang di bagian depannya. Dengan lucu kamu kibaskan rambutmu kesana-kemari menghantam angin. Kamu selalu penasaran, adakah tempat disana yang masih belum kamu lihat, adakah petualangan yang belum kamu lalui. Perlahan kamu mulai lelah, kamu mulai berhenti sembari memanggilku, masih dengan senyum yang sama. Sampai akhirnya kita berhenti di sebuah dermaga yang sudah tidak terpakai. Dermaga yang tidak terlalu besar, hanya beberapa pemancing dan nelayan lokal yang berada disana.

Kamu selalu tahu, ketakutanku akan laut. Betapa aku sangat menghindari laut. Laut adalah mimpi buruk buatku. Perlahan namun pasti kamu menghampiriku, berkata semua akan baik-baik saja. Pelan, jemari tanganmu menggenggam jemari tanganku. Meyakinkanku. Ya, selalu kamu yang bisa mengusir semua ketakutan itu. Kamu lebih baik dari semua terapi-terapi yang pernah aku lakukan.

Pelan namun pasti senja mulai turun, kita berdua duduk bersama menerawang ke sudut tiada batas. Sepintas kulihat wajahmu yang kamu biarkan terhempas angin. Kamu tersenyum sembari melihatku. Aku hapal persis tatapan itu, tatapan yang selalu membuatku jatuh hati berkali-kali. Tatapan yang akan selalu mengingatkanku lagi. Pandangan yang kelak mungkin akan kurindukan atau bahkan mungkin aku takut temui lagi. Pandangan yang tidak mungkin akan terimitasi.

Untuk pantai yang namanya sulit kuingat lagi