Senin, 17 Februari 2014

Pria yang terus berlari

Aku tidak tahu, mengapa engkau begitu suka berlari. Dari sekian banyak olah raga elite yang ada, engkau justru memilih lari. Pernah suatu ketika aku melihatmu berlari sepulang kerja mengelilingi kantor dengan masih mengenakan kemeja abu-abu favoritmu. Kau tidak pernah mendengar teriakan-terianku yang selalu mengkhawatirkanmu. Meski kadang aku merasa lega, setidaknya dengan berlari otot-ototmu menjadi lebih bugar, lebih sehat. Aku yang selalu mencintaimu, menatapmu dari belakang, menyukai segala kekakuanmu yang selalu terlihat lucu. Aku yang sedikit cemburu mendengar segala curhat-curhat cerita cintamu. Hingga perlahan aku menjauh, berusaha membuang segala kekhawatiran tentangmu. Pada waktu itu, aku sering mendengar cerita cinta kalian. Betapa gilanya diriku, semua jejaring sosial menjadi menjadi kambing hitam atas kesedihan, kebimbangan, kesakitan yang aku alami.
Perlahan kamu menyadari aku mulai menjauh. Kau kirimkan berbagai pesan singkat dengan pertanyaan yang sama, 'ada apa denganmu?apakah kamu baik-baik saja?'. Ingin rasanya aku mengatakan aku tidak baik-baik saja, aku ingin kamu ada disini. Namun kuurungkan niatku, lebih baik aku pergi diam-diam dengan cara yang baik daripada harus berkata yang tidak perlu kepadamu. Dikantor, aku memilih berangkat lebih pagi darimu. Sengaja aku memilih menaiki tangga dibanding lift. semua kulakukan agar aku merasa lebih baik.
Hari ini aku pulang cukup malam, bosku memberi tugas yang kelewat tidak manusiawi dibanding gajiku yang hanya dua kali gaji satpam tempatku bekerja. Pada hari itulah aku melihatmu berlari. Hampir setahun semenjak terakhir kali kita berdua berbicara. Sebenarnya aku telah mendengar engkau berpisah dari kekasihmu berbulan-bulan yang lalu, namun ketakutan telah membungkus semua perasaanku kepadamu. Kulihat engkau sedikit lebih kurus dengan kumis-kumis tipis tumbuh di atas bibirmu. Pada waktu itu aku sadar, engkau masih menjadi bagian dari sepotong pengharapanku yang telah berusaha aku iris tipis-tipis sedemikian rupa. Aku yang malam itu sudah cukup lelah menghindarimu, hanya berusaha tidak terlihat olehmu semampuku saja. Dan tiba-tiba engkau berhenti berlari sembari diam terpaku sejenak menyadari keberadaanku yang sebenarnya sudah berusaha kusembunyikan 'semampuku'. Engkau tersenyum sembari melambaikan tanganmu. Aku membalas lambaian tangamu canggung. Perlahan, engkau melangkah mendekat kearahku. Perlahan pula duniaku kembali sesak, wangi cologne yang aku hapal betul semilir wanginya, senyum tulusmu yang sulit kulupakan. Malam itu kita berdua kembali sepasang sahabat, hari itu kuhapuskan semua keraguanku. Tidak ada pertanyaan apa dan mengapa tentang semua yang telah terjadi. Sembari menyeka keringat engkau menjelaskan kepadaku mengapa engkau suka berlari.
'Adinda, gue suka lari karena lari itu murah. Dengan lari gue bisa terlepas dari semua beban pikiran yang gue rasain. Gue lari karena gue tau apa yang tersisa dari lari adalah keringat dan capek, hingga akhirnya gue bisa tidur nyenyak tanpa beban pikiran yang menggantung dari kepala gue. Setidak selama tiga puluh menit gue gak pikirin apa-apa. Tentang masa depan depan, keluarga, harga bensin yang terus naik, hutang-hutang gue, dan terutama tentang elu'
Dia berhenti sejenak sembari tersenyum, menunggu ekspresi dariku. Ketika aku hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba dia beridiri dan kembali berlari. Sejenak aku merenung, terdiam. Namun kemudian dia kembali dan meraih tanganku, mengajakku berlari. Aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Satu, dua, tiga, empat, lima putaran hingga akhirnya kami berhenti. Aku tersengal sengal. Seumur-umur baru sekali aku berlari selama dan sejauh ini. Kami berhenti, mata kami saling memandang. Dia terawa terpingkal pingkal melihat keringatku, aku ikut tertawa melihatnya. Entah apa yang kutertawakan. Malam itu aku sadar, sebuah perasaan yang tumbuh subur apabila langsung terpendam hasilnya akan sama, hanya akan menghasilkan bibit baru. Tak ada yang sesuatu yang terjadi apabila kita tidak berbuat sesuatu. Perasaan hanya akan menjadi sebuah siksaan apabila tidak terucap. Rahasia tidak akan pernah terendus apabila tidak pernah berusaha dipecahkan. Kadang kita terlalu takut berucap, kadang kita takut menghadapi reaksi yang kita tidak inginkan. Tapi malam ini aku percaya, cinta yang paling nyata adalah cinta yang diucapkan. Tidak lebih, dan tidak kurang.