Jumat, 31 Januari 2014

Saturday At The Canal

I was hoping to be happy by seventeen.
School was a sharp check mark in the roll book,
An obnoxious tuba playing at noon because our team
Was going to win at night. The teachers were
Too close to dying to understand. The hallways
Stank of poor grades and unwashed hair. Thus,
A friend and I sat watching the water on Saturday,
Neither of us talking much, just warming ourselves
By hurling large rocks at the dusty ground
And feeling awful because San Francisco was a postcard
On a bedroom wall. We wanted to go there, 
Hitchhike under the last migrating birds
And be with people who knew more than three chords
On a guitar. We didn't drink or smoke,
But our hair was shoulder length, wild when
The wind picked up and the shadows of
This loneliness gripped loose dirt. By bus or car,
By the sway of train over a long bridge,
We wanted to get out. The years froze
As we sat on the bank. Our eyes followed the water,
White-tipped but dark underneath, racing out of town.
Written by: Gary Soto

Senin, 06 Januari 2014

Blurry Eyes

Masihkah kamu mengingatnya?butiran pasir putih itu, tepian pantai yang kita telusuri bersama. Masih bisa kuingat bagaimana kamu tertatih-tatih menaiki sebuah sepeda dengan keranjang di bagian depannya. Dengan lucu kamu kibaskan rambutmu kesana-kemari menghantam angin. Kamu selalu penasaran, adakah tempat disana yang masih belum kamu lihat, adakah petualangan yang belum kamu lalui. Perlahan kamu mulai lelah, kamu mulai berhenti sembari memanggilku, masih dengan senyum yang sama. Sampai akhirnya kita berhenti di sebuah dermaga yang sudah tidak terpakai. Dermaga yang tidak terlalu besar, hanya beberapa pemancing dan nelayan lokal yang berada disana.

Kamu selalu tahu, ketakutanku akan laut. Betapa aku sangat menghindari laut. Laut adalah mimpi buruk buatku. Perlahan namun pasti kamu menghampiriku, berkata semua akan baik-baik saja. Pelan, jemari tanganmu menggenggam jemari tanganku. Meyakinkanku. Ya, selalu kamu yang bisa mengusir semua ketakutan itu. Kamu lebih baik dari semua terapi-terapi yang pernah aku lakukan.

Pelan namun pasti senja mulai turun, kita berdua duduk bersama menerawang ke sudut tiada batas. Sepintas kulihat wajahmu yang kamu biarkan terhempas angin. Kamu tersenyum sembari melihatku. Aku hapal persis tatapan itu, tatapan yang selalu membuatku jatuh hati berkali-kali. Tatapan yang akan selalu mengingatkanku lagi. Pandangan yang kelak mungkin akan kurindukan atau bahkan mungkin aku takut temui lagi. Pandangan yang tidak mungkin akan terimitasi.

Untuk pantai yang namanya sulit kuingat lagi